Pages

Selasa, 21 Juni 2011

Sekejap Kebahagiaan

Aku memiliki saudara kembar yang fisik dan sifatnya berbeda jauh denganku. Saudaraku itu bernama Bella, yang dalam bahasa jermannya berarti cantik. Bella memiliki banyak kelebihan di bandingkan aku. Pertama, kulitnya lebih putih dibandingkan aku, kedua wajahnya lebih cantik dibandingkan aku. Itu karena matanya yang bulat dihiasi dengan bulu mata dan alis yang indah. Sedangkan aku? Hanya perawakan kita yang sama dan sisanya pergi entah kemana. Aku merasa diriku lebih buruk dari Bella. Jangankan dilihat dari fisiknya, dari nama panggilannyapun nama Bella lebih bagus dari namaku. Tapi kenapa ayah dan ibuku malah  memberi nama Billi padaku. Nama yang tidak memiliki arti apa-apa.
 
Bella dan aku duduk di kelas yang sama, yaitu kelas 11 IPA 3. sebenarnya aku sama sekali tidak ingin satu kelas dengan Bella karena aku tidak ingin sakit hati tiap kali melihatnya dipuji-puji guru atau teman-teman. Hampir semua orang yang kenal dengan kita lebih senang bertemu dan berbicara dengan Bella.
“Bil, Bella ke mana? Ibu mau memberikannya tugas.” Kata Bu Ani pada suatu hari.
“Tugas apa, Bu?” tanyaku.
“Tugas untuk teman-teman kelas kalian. Hari ini ibu tidak bisa mengajar di kelas kalian karena ada upacara pernikahan di keluarga ibu” Kata Bu Bni.
“Oh... Kalau begitu titip tugasnya pada saya saja, Bu” Kataku menawarkan.
“Oh, tidak usah. Biar nanti Bella saja yang datang menemui saya” Kata Bu Ani sambil tersenyum “Nanti kalau Bella sudah ketemu suruh datang menghadap saya ya?”
“Iya Bu” Kataku singkat. Apa tidak ada seorangpun di dunia ini yang mengerti tentang perasaanku ini? Tanyaku dalam hati. Bahkan gurupun terus mengutamakan Bella. Padahal apa bedanya aku dengan Bella?

Di sekolah, di rumah, atau dimanapun aku memang jarang berbicara dengan Bella. Tapi karena Bella orang yang perasaan seperti Ibu, ia sering memancing aku agar mau berbicara dengannya.  Aku hanya meladeni pembicaraan Bella sesekali saja dan itu cukup membuatnya senang.
Sebenarnya semua hal yang aku lakukan pada Bella adalah buruk, aku tahu itu. Tapi hari-hari yang  aku jalani ini membuatku semakin iri padanya. Kadang, aku merasa benci pada diriku sendiri, karena aku iri dengan saudara kandungku sendiri.
Memang banyak kelebihan yang dimiliki oleh Bella. Tapi, manusia tidak ada yang sempurna termasuk Bella. Walau dia cantik, pintar, dan mudah bergaul pada siapapun, dia juga memiliki kekurangan. Sejak kecil Bella sering sakit. Dibanding dengan aku yang tidak pernah masuk rumah sakit, Bella lebih sering keluar masuk rumah sakit. Itu terjadi saat umur kami tujuh tahun. Saat itu, Bella terus keluar masuk rumah sakit. Dalam setahun, lebih dari tiga kali dia rawat inap di rumah sakit swasta dekat rumah kami. Karena masih kecil, akupun tidak bertanya pada ayah dan ibu kalau Bella sakit apa. Dan dua tahun lalu, Bella kembali masuk rumah sakit karena tifus. Kata dokter, Bella juga menderita anemia.
Walau saat itu aku tak menyukai Bella, aku ikut merasa sedih atas penyakit yang diderita Bella.

Hal yang paling membuatku betah di dalam kelas ada satu, yaitu Arvin, laki-laki yang duduk denganku. Orangnya sangat ceria. Duduk dengannya bisa membuatku melupakan Bella dalam sejenak. Kami juga sering mengobrol saat jam istirahat. Tak ada seorangpun yang tahu kalau aku suka dengan Arvin. Aku memang menyukai Arvin, tapi aku bukan tipe orang yang suka menunjukan rasa sukaku pada seseorang yang aku suka termasuk Arvin karena aku orang yang sedikit pemalu.
Saat jam istirahat kedua berlangsung, aku menggambar bunga matahari yang tumbuh sendiri di tengah gurun yang luas. Aku menggambar bunga itu di belakang buku catatan sosiologiku. Hampir sebagian anak keluar saat istirahat itu. Hanya ada aku dan beberapa teman perempuanku yang sedang asyik mengobrol dengan teman sebangkunya. Tiba-tiba Arvin masuk ke kelas dan duduk di sampingku. Aku sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tidak kusadari. Ia memasang tampang serius.
“Ada apa?” tanyaku sambil mengangkat alis.
“Kau yakin `kan kalau Bella belum punya pacar?” tanya Arvin lagi. Aku paling benci mendengar pertanyaan ini dari Arvin. Akhir-akhir ini Arvin sering menanyakan hal itu padaku dan itu membuatku sangat jengkel.
Aku hanya diam dan tak menjawab pertanyaan Arvin. Aku kembali melirik gambaranku seakan-akan gambaranku itu lebih penting dari apapun.
“Billi?!” tanyanya lagi.
Karena aku merasa jengkel, aku menoleh Padanya lagi “Apa!” Seruku sedikit berteriak.
Arvin tekejut dan mundur beberapa langkah.
Aku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mataku. Aku tak ingin Arvin menilaiku dengan buruk jadi aku menurunkan volume suaraku “Aku sudah katakan berkali-kali Arvin, dan aku yakin seribu persen kalau Bella belum punya pacar. Ok?”
Seulas senyum mulai tersungging di wajah Arvin. “Terima kasih Billi! Kamu memang sahabatku yang paliiing baik” kata Arvin lalu berlari keluar kelas tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Hatiku terasa remuk mendengar kata-kata Arvin. Ternyata aku hanya dianggap teman olehnya, keluhku dalam hati. Dan aku menganggap perkataan terakhirnya tadi adalah penolakan tak langsung.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku menunggu ayah menjemput kami. Cukup lama aku menunggu ayah di gerbang depan, dan akhirnya ayah datang juga.
“Bella mana, Bill?” Tanya ayah padaku. Aku menoleh ke sampingku dan Bella tidak ada. “Katanya dia ada urusan dengan teman, Yah” Jawabku bosan.
“Billi, tolong cari Bella sebentar soalnya siang ini ayah harus ke kantor cepat-cepat.” Kata Ayah.
Karena aku merasa tak enak pada ayah, aku pergi mencari Bella. Kata Saras, teman sekelasku tadi dia melihat Bella di depan ruang komputer. Aku berterima kasih pada Saras dan langsung pergi mencari Bella. Sambil berjalan aku berfikir, apa yang dilakukan Bella di depan ruang komputer.
Aku sampai di depan ruang komputer dan melihat Bella dan Arvin berbicara serius. Aku hanya berdiri diam beberapa meter dari mereka berdua.
“...kau mau?” tanya Arvin. Aku memang berada jauh dari tempat mereka, tapi aku masih dapat mendengar percakapan mereka. Aku juga mendengar nada suara Arvin sedikit memelas.
Bella hanya menunduk diam dan tidak menjawab. Setelah beberapa detik diam Bella mengangkat dagunya. Sesaat mataku dan mata Bella bertemu. “Billi?!” serunya.
Tentu saja Arvin menoleh ke belakang dan melihatku berdiri diam tak jauh dari tempatnya berdiri.
Bella berlari mendekatiku.
“Bella!” Panggil Arvin.
Bella menoleh melihat Arvin.
“Kau mau?” Tanyanya lagi.
Aku melihat Bella tersenyum malu lalu mengangguk. Di Belakangnya senyum Arvin mengembang sangat lebar.
Sejenak aku tau apa yang terjadi di antara mereka. Kini mereka telah resmi pacaran dan aku benar-benar yakin akan hal itu. Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Aku merasa mataku mulai panas seperti hatiku dan aku merasa air mataku hampir keluar setelah melihat semua ini terjadi. Karena tak tahan lagi, aku balik lebih dulu dan berlari mendekati mobil ayah.
Mungkin Ayah sedikit heran melihatku datang sendiri tanpa Bella.
“Bella mana?” Tanya Ayah.
Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan Ayah. Aku menutup pintu mobil sedikit keras sampai-sampai ayah geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. Aku duduk di Jok paling depan karena aku tidak ingin Bella memperhatikanku lagi. Semenit kemudian, Bella datang dan berlari mendekati mobil.
Dari kaca spion, aku dapat melihat wajah Bella berseri-seri. Dan itu membuatku semakin yakin kalau Arvin sudah pacaran dengan Bella.

Lebih dari lima bulan Bella dan Arvin sudah pacaran. Walau sempat sakit hati, aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Aku tetap duduk dengan Arvin dan hari demi hari yang aku jalani setelah kejadian itu, aku mulai bisa menerima semuanya dengan perlahan. Hubunganku dengan Bella memang masih seperti biasanya, tapi aku tidak memikirkan hal itu lagi. Aku berfikir, mungkin Arvin bukan jodohku dan aku tidak ingin berfikir kekanak-kanakan terus. Lagipula setelah aku perhatikan, Arvin memang lebih cocok dengan Bella.
Hal yang menjadi ganjalan dalam hatiku saat ini adalah mimpiku. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk dan aku terbangun pada tengah malam dengan keringat dingin yang mengucur membasahi badanku dan anehnya lagi, setiap aku bangun aku selalu melihat Bella juga tidur dengan gelisah, sama sepertiku tapi ia tidak terbangun dari tidurnya. Sepertinya apa yang aku alami terjadi juga pada Bella.
Beberapa minggu terakhir ini, wajah Bella semakin pucat. Dalam seminggu, lebih dari dua kali ia absent karena sakit. Aku memang tidak terlalu menyukai Bella, tapi aku paling tidak tega jika sudah melihat dia sakit, karena setiap dia sakit keadaannya benar-benar menyedihkan.
Keadaan Bella semakin parah, dia sudah pergi ke dokter, namun belum sembuh juga. Akhirnya, Dokter memberi Bella surat rujukan untu Cek Lab. Dokter menyuruh Bella menginap di rumah sakit karena ia kembali terserang Anemia dan Bella mendapatkan Transfusi darah. Hampir setiap hari ada yang menjenguk Bella di rumah sakit dan Arvin adalah pengunjung tetap Bella selain aku, ayah, dan ibu.
Karena tak tega melihat keadaan Bella, aku memberanikan diri bertanya padanya.
“Bagaimana kabarmu Bella?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya, Bill. Badanku lemas dan sakit semua.” Kata Bella lemah. Wajahnya semakin kurus dan pucat. Bibir Bella yang sebelumnya berwarna merah, kini menjadi pecah-pecah dan pucat. Melihat keadaan Bella seperti ini, air mataku jatuh tak tertahankan. “Kenapa kau menangis Billi?” Tanya Bella. Suaranya lemah dan bergetar. Air mataku terus jatuh dan suaraku satupun tak ada yang bisa keluar dari mulutku. Aku hanya menggeleng-geleng sambil terisak menangis.
“Jangan menangis lagi” katanya.
Aku berusaha agar tidak menangis, tapi sulit. Bahkan untuk berbicarapun rasanya sangat sulit. “Ma... maafkan aku, Bel” kataku sambil terisak. Tenggorokanku terasa sakit dan kering seketika itu juga. “Maaf..”
Bella yang tak tahan melihatku menangis juga ikut bersedih. Aku dapat melihat matanya yang bersih berkaca-kaca dan sebutir air matanya jatuh ke bantal yang berwarna putih karena saat itu ia sedang berbaring di ranjangnya. Saat itu hanya ada kami berdua di ruangan itu karena ayah dan ibu sedang bicara pada dokter. Hatiku semakin sakit jika melihat tangan Bella ditusuk banyak jarum. Kantong infuse dan kantong darah tergantung tinggi di tiang samping tempat tidurnya. Karena tak mampu mengatakan apapun, aku hanya sanggup mengungkapkan satu hal saat itu “Cepat sembuh, Bella” kataku dengan suara bergetar dan tercengat. Lalu aku pergi ke luar dan terisak di depan pintu tanpa memedulikan orang-orang yang lalu lalang di tempat itu.
Dua minggu kemudian, Bella telah sembuh dan hubungan kamipun semakin baik. Bella sudah bisa beraktivitas seperti biasa lagi dan kami mulai belajar bersama untuk ulangan umum yang akan dilaksanakan tiga minggu lagi.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari berlalu dengan sangat menyenangkan. Aku dan Bella benar-benar  menikmati hari-hari kami. Dan hari ini adalah hari terakhir ulangan umum. Mata pelajarannya adalah seni budaya. Setelah hari ini, aku dan Bella berencana untuk pergi ke bioskop untuk menonton film. Saat ulangan berlangsung, Bella yang duduk di sebelahku Batuk batuk. Wajahnya sangat pucat, padahal tadi pagi wajahnya masih ceria. Karena sedang Ulangan, aku tak berani berbicara dengannya. Aku hanya meliriknya sesekali dan aku melihat wajah Bella pucat pasi. Duduknya tidak tenang dan dapat kulihat dirinya seperti kesulitan bernafas.
Saat ulangan selesai, Aku mengumpulkan lembar jawabanku dan kembali duduk. Aku memerhatikan Bella berjalan ke depan menaruh lembar jawabannya. Tangan kirinya menutup mulut karena ia batuk dan ketika melepas tangan kiri dari mulutnya, Bella gemetar melihat darah yang keluar dari hidungnya.
“Bella, kamu mimisan!” Kata salah satu temanku yang melihat darah yang menetes dari hidung bella.
“Bella!” seruku sambil berlari mendekati Bella. Aku sangat terkejut  melihat banyak darah yang ada di tangan Bella dan dapat aku lihat tangan Bella yang putih gemetar hebat. Arvin mendekat dan berdiri di belakang Bella dan melihat darah Bella yang sangat kontras dengan tangannya yang putih.
Mata Bella mulai menutup sedikit demi sedikit dan ia jatuh pingsan. Untung ada Arvin yang berdiri di belakangnya yang menopang Bella. Aku yang melihat kejadian itu berdiri mematung dan tidak bisa bergerak. Aku melihat Bella diangkat oleh teman laki-laki dan perempuanku. Sesaat satu kelas menjadi gempar dan kacau.

Aku duduk di kursi dekat tempat tidur Bella sambil menangis memegang tangannya. Di sudut ruangan Ibu menangis terisak-isak ditemani oleh ayah yang berdiri di sebelahnya. Arvin juga ada di situ, tapi dia hanya diam mematung dan tak berkata apa-apa.
Beberapa jam yang lalu setelah Cek Lab, dokter menyatakan bahwa Bella terkena leukimia. Aku tidak berkata apa-apa dan hanya diam mengeluarkan air mata. Bella sedang tidur karena baru saja ia diberikan suntikan pereda rasa nyeri.
Kami memutuskan untuk tak mengatakan apapun mengenai penyakit yang diderita Bella. Tapi, aku merasa Bella sudah tau apa yang sudah terjadi padanya. Dua minggu sudah Bella tinggal di rumah sakit. Aku tidak bisa mengingat sudah berapa kantong darah yang diberikan untuk Bella. Yang aku ingat hanya berapa kali Bella sudah melakukan cuci darah. Bella sudah cuci darah sebanyak dua kali. Membayangkannya saja sudah membuat ngeri. Aku tidak bisa membayangkan perjuangan Bella dalam menghadapi penyakit ini.
Setiap kali  penyakit itu kambuh, badan Bella akan panas namun ia merasa dingin dan menggigil. Dan itu membuat semua orang di seklilingnya sedih.  
“Billi, kau adalah saudaraku yang paling baik. Aku tau apa yang terjadi padaku. Aku tahu dari cara kalian semua memperlakukanku akhir-akhir ini. Aku sangat menyayangimu Billi. Aku sangat senang ketika kita bisa akrab. Dan aku ingin bersamamu lebih lama lagi” Kata Bella dengan suaranya yang serak.
Aku hanya diam dan menangis. Mataku yang sudah sangat sembab terasa panas ketika air mata keluar lagi. “A…a .. ku… juga me...“ kataku dengan isakan yang sangat keras. Dan aku yakin suaraku sulit untuk dimengerti. “me…nya..yangimu Bel..la. Ma.. af kan.. aku” kataku. Air mataku terus keluar tanpa bisa ditahan lagi.
Besok cuci darah akan Bella lakukan lagi. Karena sel darah putih yang ada di tubuh Bella kembali menggeogoti tubuhnya. Karena Bella tidak kuat, sehari setelah cuci darah itu keadaan Bella benar-benar buruk hingga dokter tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Ayah, Ibu, Bella ingin tidur sebentar. Jangan ganggu Bella ya? Kalau Bella sudah sembuh, Bella ingin pergi jalan-jalan dengan Ayah, ibu dan Billi. Tapi kalau Billi sudah datang dari sekolah, bangunkan Bella ya?” kata Bella dengan suara yang sangat berat.
Ibu dan Ayah hanya mengangguk lemah. “Iya. Bella tidur saja dulu! Nanti kalau Billi dan Arvin sudah datang akan ibu suruh mereka menemuimu.” Kata Ibu.
“Tidak! Jangan Arvin. Aku hanya ingin bertemu dengan Billi. Hanya Billi” kata  Bella.
Ibu hanya mengangguk dan keluar dari ruangan itu dengan ayah. Sebelum ibu keluar, Bella memanggil Ibu dan ayah sekali lagi “Ibu! Aku menya…” belum selesai Bella berbica nafasnya sudah tersengal-sengal dan batu-batuk “aku menyangi ayah dan ibu”
Air mata ibu keluar dengan deras tapi Ibu tetap diam dan hanya mengangguk lemah.
Setelah pulang dari sekolah, aku dan Arvin langsung pergi ke rumah sakit. Aku hanya melihat Ibu duduk di ruang tamu sendirian sambil menatap layar handphonenya. Aku berjalan mendekat dan duduk di samping Ibu. “Ayah mana, Bu?”
Ibu menoleh menatapku. “Ayah masih mandi ke rumah, Bill”
“Oh…” gumamku sambil mengangguk. “Aku dan Arvin mau lihat Bella dulu ya Bu?” tanyaku sambil beranjak dari kursi yang aku duduki.
“Jangan!” cegah Ibu. Aku heran mendengar kata-kata Ibu. “Kamu jangan masuk sembarangan. Tadi pagi Bella berpesan pada Ibu kalau kamu sudah pulang dari sekolah, kamu disuruh menemuinya. Tapi jam sebelas tadi Bella bilang dia tidak ingin menemui siapapun termasuk kamu karena dia ingin istirahat. Ibu merasa khawatir mendengar kata-katanya jadi Ibu masuk lagi ke dalam dan Bella marah. Dia tidak mau makan dan minum obat. Baru kali ini Ibu melihat dia seperti ini. Tidak biasanya Bella marah pada siapapun karena masalah sepele.” Kata Ibu. Aku bisa merasakan tenggorokan Ibu sakit. Wajah Ibu tampak lelah dan pucat.
“Tapi aku ingin masuk, Bu!” kataku.
“Jangankan kamu nak, siapapun tidak diberikan masuk karena kalau Bella marah lagi itu akan memperburuk keadaannya saat ini.
Rasa gelisahku tak pernah hilang. Sejak kemarin aku merasa ada yang aneh pada Bella. Dia sepertinya menghindar untuk bertemu siapapun dan itu semakin membuatku khawatir akan keadaannya. Dari pukul satu siang sampai pukul enam sore aku, Arvin, Ayah dan Ibu tidak pergi dari bangku itu hingga dokter datang dan masuk untuk mengecek keadaan Bella. Dokter mengatakan kalau keadaan Bella sangat buruk dan mengerikan. Wajah ayah dan Ibu sudah pucat. Sedangkan aku? Beribu pikiran negative mengenai penyakit Bella datang menghampiriku.
Ayah dan Ibu diberukan masuk ke ruangan atas permintaan Bella tapi Arvin dan aku tidak diberikan masuk Di luar ruangan aku menangis dan memelas pada perawat yang menjaga kamar itu. Aku sudah tidak bisa berfikir apa-apa lagi. Yang ada dalam benakku hanyalah bertemu dan berbicara dengan bella.
Pukul sepuluh malam lewat delapan menit aku dan Arvin diberikan masuk karena Ayah meminta perawat membukakan pintu untuk kami. Pengelihatanku sudah tidak jelas karena mataku sudah bengkak akibat menangis. Yang aku lihat hanya Bella yang tertidur lemah dia atas bantal. Ada yang berubah dengan Bella. Kini ia menggunakan selang oksigen dan di sebelah tempat tidurnya ada alat pendeteksi detak jantung. Aku menutup mulutku yang ternganga. Sesaat aku mengira Bella telah meninggal tapi Bella hanya sedang tidur. Pantas saja aku dan Arvin diberikan masuk.
Keesokan paginya aku melihat tidur Bella tidak tenang dan akhirnya ia bangun. Arvin, aku, Ayah, dan Ibu menginap di rumah sakit malam itu. Kami tidak tidur semalaman dan kebetulan karena hari ini hari minggu Arvin dibolehkan menginap di rumah sakit oleh keluarganya.
Bella bangun dari tidurnya dan aku sangat senang. Aku paling takut kalau Bella tidur dan tidak sadarkan diri untuk selamanya. Bella memandang kami semuanya sambil tersenyum ringandan tidak mengatakan apa-apa.
“Bagaimana keadaanmu, Bel?” tanya Ibu.
“Badanmu masih sakit Bella?” tanyaku sambil mendekati Bella. Bella tersenyum melihatku mendekatinya. Aku membalas senyuman Bella dan memegang tangannya yang panas. Sedikit-demi sedikit mata Bella mulai tertutup dan senyumnya mulai memudar. Tangannya yang panas jatuh terkulai dari tanganku. Dan yang paling membuatku terkejut adalah bunyi alat pendeteksi jantung. Alat itu berbunyi panjang melengking dan gambaran yang ada di dalam monitor hanyalah garis lurus berwarna hijau.
Aku yang melihat Bella menutup mata perlahan-lahan mundur. Ibu berteriak memanggil nama Bella dan aku melihat Ibu menangis. Dan air matakupun berdesak-desakan jatuh keluar membasahi pipiku. Aku diam sejenak dan berteriak histeris memanggil nama Bella. Tangisan ku pecah tak karuan. Arvin yang semula setia menunggu Bella ikut mengeluarkan air mata. Sesaat aku melihat Ibu jatuh pingsan dan suasana dalam ruangan itu semakin menyesakan hati.

Semua hanya tinggal kenangan. Yang terjadi biarlah terjadi. Aku berusaha melupakan Bella namun sulit. Sebersit kekecewaan datang menyelimuti hatiku. Aku benar-benar menyesal akan semua yang telah aku lakukan. Betapa jahatnya aku ini sampai aku iri pada saudara kandungku sendiri.
Walau Bella telah meninggalkanku dengan sedikit kenangan indah, aku akan tetap mengenangnya sampai kapanpun. Dan dari dasar lubuk hatiku yang terdalam, aku sadar kalau aku benar-benat menyayangi Bella.

***

Ini adalah cerpen pertamaku yang masuk dalam daftar karya favorit kategori B, Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR-2010) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh  PT Rohto Laboratories Indonesia. Lip Ice-Selsun Golden Award. (^__^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar